Selasa, 28 April 2009

KH.ABDUL WAHAB HASBULLOH (ULAMA TRADISIONAL YANG MODERNIS)


Beliau bernama KH. Abdul Wahab Hasbulloh yang dilahirkan di Desa Tambak Beras, Jombang bulan Maret tahun 1888 M. Sejak kecil beliau menerima pelajaran dasar-dasar agama Islam dari ayahnya K. Hasbulloh, menginjak usia 13 tahun beliau melanjutkan ke Pondok pesantren Langitan, Tuban, Pondok Mojosari, Nganjuk, Pondok Pesantren Tawang Sari, Sepanjang kemudian melanjutkan ke Pondok KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura setelah itu melanjutkan ke Pondok pesantren Tebuireng, Jombang.

Hampir 14 tahun menuntut ilmu di tanah air, sekitar tahun 1921 M, KH Abdul Wahab Hasbulloh Pergi ke Tanah Suci Mekkah di samping menunaikan ibadah Haji beliau juga belajar disana selama hampir 5 tahun, guru-guru beliau di Mekkah adalah KH. Mahfudz Termas yang juga berasal dari Indonesia dan Syech Al Yamani dari kedua guru inilah beliau mendapat ijazah istimewa karena kecerdasan yang beliau miliki.

Kyai Abdul Wahab kembali dari belajarnya di tanah suci Makkah. dan membantu mengajar di pesantren yang telah dirintis oleh ayahnya, kepedulian KH. A Wahab terhadap kondisi bangsa yang masih dijajah oleh bangsa asing memaksa beliau untuk aktif terhadap gerakan kebangsaan melalui berdirinya “TASWIRUL AFKAR” bersama dengan KH. Mas Mansyur dan sekarang menjadi Madrasah terbesar di Kota Surabaya. Tahun 1916 dari Taswirul afkar ini beliau mendirikan madrasah “Nahdlatul Wathon” yang artinya kebangkitan tanah air. Pada mulanya madrasah ini di asuh oleh para ulama-ulama terkenal seperti KH. Mas mansyur lama kelamaan Madrasah tersebut menjadi tempat pengkaderan para remaja islam yang kemudian biasa disebut Jamiyyah Nasihin, KH A Wahab juga mendirikan koperasi pedagang tahun 1918 yang bernama “Nahdaltut Tujjar” .

Memasuki tahun 1920 persaingan antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh KH. A Wahab dan kaum modernis yang diwakili oleh KH. Ahmad dahlan (pendiri Muhammadiyyah) dan Syech Ahmad Sukarti (Al Irsyad) semakin memanas, ketika kaum modernis menyerang praktek-praktek kaum tradisionalis yang dianggapnya mengandung kufarat dan bid’ah. KH.A Wahab dan KH. Hasyim Asy’ari tidak sepenuhnya menolak saran kaum modernis terutama mengenai modernisasi sistem pendidikan walaupun menolak meninggalkan mazhab. Upaya mencari titik temu antara kaum tradisionalis dan modernis semakin sulit tatkala islam modernis semakin gencar melakukan pembaharuan melalui forum-forum perdebatan dan propaganda yang kontroversial adalah yang dilakukan oleh Faqih Hasyim murid Haji Rosul dari Sumatera Barat di Surabaya.

Dan yang paling mengejutkan adalah mundurnya salah seorang guru Nahdlatul Wathon yaitu KH Mas Mansyur ikut bergabung dengan Muhammadiyah. Sungguhpun demikian tokoh ulama tradisionalis tidak patah semangat, KH A Wahab melobi beberapa ulama-ulama untuk membentuk gerakan yang mewakili kaum tradisionalis mulanya usaha KH. A wahab ditolak oleh KH.Hasyim Asy’ari karena khawatir akan memperuncing perselisihan yang akan mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam. Akhirnya KH Hasyim Asy’ari berkonsultasi dengan gurunya KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura tentang usulan para ulama yang mewakili kalangan tradisionalis untuk membentuk sebuah jamiyyah. Lalu KH Muhammad Kholil memberikan muridnya KH Hasyim Asy”ari sebuah tongkat yang merupakan suatu Isyarat bahwa gurunya merestui usulan tersebut. Akhirnya tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1334 H di bentuklah sebuah Jamiyyah yang di beri nama NAHDLATUL OELAMA (NO) atau Nahdlatul Ulama (NU) dalam ejaan yang telah di sempurnakan. Turut hadir dalam pertemuan tersebut tokoh tokoh ulama yang mewakili kaum tradisionalis diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. A Wahab Hasbulloh, KH. Bisri Sansuri (Jombang), KH. Ridwan Abdulloh (Surabaya), KH.Asnawi (Kudus), KH.Ma’sum (Lasem), KH Nawawi (Pasuruan), KH.Nahrowi (Malang), KH.Abdul Aziz (Surabaya), dll.

KH. Abdul Wahab Hasbulloh (kanan) dan KH. Bisri Samsuri


Pertemuan yang dilakukan di rumah KH. A Wahab Hasbullah menghasilkan 3 keputusan penting :

1. Mengutus delagasi untuk menemui Raja Sa’ud di Mekkah untuk menghormati dan menghargai kebebasan melakukan peribadatan kaum tradisionalis di Indonesia dan usul tersebut diterima oleh Raja Sa’ud.

2. Membentuk sebuah jamiyyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju Izzatul Islam wal muslimin. Jamiyyah tersebut di beri nama Nahdlatul Ulama (NU) yang tujuan utamanya adalah terwujudnya masyarakat islam yang beraqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.

3. Semangat nasionalisme dan kegamaan terhadap politik Hindia Belanda yang membatasi kebebasan umat Islam Indonesia melakukan ibadah haji. Dan semangat melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (al muhafadzah ‘ala qadim al salih wa al akhdzu bil jadid al aslah). Hal ini yang telah diwariskan oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di tanah air tanpa menimbulkan gejolak.

Kiprah perjuangan KH. A Wahab hasbulloh banyak sekali mewarnai perjalanan NU dari masa ke masa. Keputusan keputusan penting yang diambil NU mewarnai peran KH.A.Wahab Hasbullah dalam percaturan politik di tanah air. Pada hari Rabu tanggal 29 Desember 1971 KH.A Wahab Hasbulloh meninggal dunia dan dimakamkan di komplek Pesantren Tambak Beras Jombang Jawa Timur.


Tidak ada komentar: