Selasa, 28 April 2009

KH.ABDUL WAHAB HASBULLOH (ULAMA TRADISIONAL YANG MODERNIS)


Beliau bernama KH. Abdul Wahab Hasbulloh yang dilahirkan di Desa Tambak Beras, Jombang bulan Maret tahun 1888 M. Sejak kecil beliau menerima pelajaran dasar-dasar agama Islam dari ayahnya K. Hasbulloh, menginjak usia 13 tahun beliau melanjutkan ke Pondok pesantren Langitan, Tuban, Pondok Mojosari, Nganjuk, Pondok Pesantren Tawang Sari, Sepanjang kemudian melanjutkan ke Pondok KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura setelah itu melanjutkan ke Pondok pesantren Tebuireng, Jombang.

Hampir 14 tahun menuntut ilmu di tanah air, sekitar tahun 1921 M, KH Abdul Wahab Hasbulloh Pergi ke Tanah Suci Mekkah di samping menunaikan ibadah Haji beliau juga belajar disana selama hampir 5 tahun, guru-guru beliau di Mekkah adalah KH. Mahfudz Termas yang juga berasal dari Indonesia dan Syech Al Yamani dari kedua guru inilah beliau mendapat ijazah istimewa karena kecerdasan yang beliau miliki.

Kyai Abdul Wahab kembali dari belajarnya di tanah suci Makkah. dan membantu mengajar di pesantren yang telah dirintis oleh ayahnya, kepedulian KH. A Wahab terhadap kondisi bangsa yang masih dijajah oleh bangsa asing memaksa beliau untuk aktif terhadap gerakan kebangsaan melalui berdirinya “TASWIRUL AFKAR” bersama dengan KH. Mas Mansyur dan sekarang menjadi Madrasah terbesar di Kota Surabaya. Tahun 1916 dari Taswirul afkar ini beliau mendirikan madrasah “Nahdlatul Wathon” yang artinya kebangkitan tanah air. Pada mulanya madrasah ini di asuh oleh para ulama-ulama terkenal seperti KH. Mas mansyur lama kelamaan Madrasah tersebut menjadi tempat pengkaderan para remaja islam yang kemudian biasa disebut Jamiyyah Nasihin, KH A Wahab juga mendirikan koperasi pedagang tahun 1918 yang bernama “Nahdaltut Tujjar” .

Memasuki tahun 1920 persaingan antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh KH. A Wahab dan kaum modernis yang diwakili oleh KH. Ahmad dahlan (pendiri Muhammadiyyah) dan Syech Ahmad Sukarti (Al Irsyad) semakin memanas, ketika kaum modernis menyerang praktek-praktek kaum tradisionalis yang dianggapnya mengandung kufarat dan bid’ah. KH.A Wahab dan KH. Hasyim Asy’ari tidak sepenuhnya menolak saran kaum modernis terutama mengenai modernisasi sistem pendidikan walaupun menolak meninggalkan mazhab. Upaya mencari titik temu antara kaum tradisionalis dan modernis semakin sulit tatkala islam modernis semakin gencar melakukan pembaharuan melalui forum-forum perdebatan dan propaganda yang kontroversial adalah yang dilakukan oleh Faqih Hasyim murid Haji Rosul dari Sumatera Barat di Surabaya.

Dan yang paling mengejutkan adalah mundurnya salah seorang guru Nahdlatul Wathon yaitu KH Mas Mansyur ikut bergabung dengan Muhammadiyah. Sungguhpun demikian tokoh ulama tradisionalis tidak patah semangat, KH A Wahab melobi beberapa ulama-ulama untuk membentuk gerakan yang mewakili kaum tradisionalis mulanya usaha KH. A wahab ditolak oleh KH.Hasyim Asy’ari karena khawatir akan memperuncing perselisihan yang akan mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam. Akhirnya KH Hasyim Asy’ari berkonsultasi dengan gurunya KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura tentang usulan para ulama yang mewakili kalangan tradisionalis untuk membentuk sebuah jamiyyah. Lalu KH Muhammad Kholil memberikan muridnya KH Hasyim Asy”ari sebuah tongkat yang merupakan suatu Isyarat bahwa gurunya merestui usulan tersebut. Akhirnya tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1334 H di bentuklah sebuah Jamiyyah yang di beri nama NAHDLATUL OELAMA (NO) atau Nahdlatul Ulama (NU) dalam ejaan yang telah di sempurnakan. Turut hadir dalam pertemuan tersebut tokoh tokoh ulama yang mewakili kaum tradisionalis diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. A Wahab Hasbulloh, KH. Bisri Sansuri (Jombang), KH. Ridwan Abdulloh (Surabaya), KH.Asnawi (Kudus), KH.Ma’sum (Lasem), KH Nawawi (Pasuruan), KH.Nahrowi (Malang), KH.Abdul Aziz (Surabaya), dll.

KH. Abdul Wahab Hasbulloh (kanan) dan KH. Bisri Samsuri


Pertemuan yang dilakukan di rumah KH. A Wahab Hasbullah menghasilkan 3 keputusan penting :

1. Mengutus delagasi untuk menemui Raja Sa’ud di Mekkah untuk menghormati dan menghargai kebebasan melakukan peribadatan kaum tradisionalis di Indonesia dan usul tersebut diterima oleh Raja Sa’ud.

2. Membentuk sebuah jamiyyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju Izzatul Islam wal muslimin. Jamiyyah tersebut di beri nama Nahdlatul Ulama (NU) yang tujuan utamanya adalah terwujudnya masyarakat islam yang beraqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.

3. Semangat nasionalisme dan kegamaan terhadap politik Hindia Belanda yang membatasi kebebasan umat Islam Indonesia melakukan ibadah haji. Dan semangat melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (al muhafadzah ‘ala qadim al salih wa al akhdzu bil jadid al aslah). Hal ini yang telah diwariskan oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di tanah air tanpa menimbulkan gejolak.

Kiprah perjuangan KH. A Wahab hasbulloh banyak sekali mewarnai perjalanan NU dari masa ke masa. Keputusan keputusan penting yang diambil NU mewarnai peran KH.A.Wahab Hasbullah dalam percaturan politik di tanah air. Pada hari Rabu tanggal 29 Desember 1971 KH.A Wahab Hasbulloh meninggal dunia dan dimakamkan di komplek Pesantren Tambak Beras Jombang Jawa Timur.


Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy`ari


Beliau adalah pendiri Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Hadhratusy Syaikh dilahirkan di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, pada 10 April 1875 dari keturunan ulama yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiyai Asy`ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiyai Hasyim Asy`ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). Nendanya, Kiyai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan moyangnya, Kiyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan nendanya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.

Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di KH.CHOLIL (madura) Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kiyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.

Pada tahun 1892, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana untuk menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru dengan ramai ulama terkemuka antaranya Habib ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Mahfudz at-Tarmisi dan ramai
lagi.

Setelah menahun di Tanah Suci, beliau kembali ke Indonesia dan dalam perjalanan pulangnya beliau singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Beliau menjejak kaki semula di bumi Indonesia pada tahun 1899. Hadhratusy Syaikh mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf rumi, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Hadhratusy Syaikh, setelah mendapat perkenan gurunya Kiyai Kholil Bangkalan, mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti “Kebangkitan Ulama“. Organisasi ini pun berkembang dan ramai anggotanya. Pengaruh Hadhratusy Syaikh pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan beliau. Kini, NU pun berkembang makin pesat.
Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi perkembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.

Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, beliau tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan sudi bekerjasama, tetapi ditolaknya. Beliau juga tokoh yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Atas jasa-jasanya itu, beliau telah dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ulama besar ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Julai 1947 dan disemadikan di
di Tebuireng.

Hadhratusy Syaikh mempunyai beberapa karangan yang ditulisnya dalam Bahasa ‘Arab, antaranya ialah “an-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin“. Dalam karangannya tersebut Hadhratusy Syaikh memperkatakan antara lain masalah tawassul dan istighatsah kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan para shalihin. Antara kesimpulan yang ditulis beliau mengenainya adalah seperti berikut:

….Demikian pula

memohon melalui Nabi SAW, wali dan hamba yang shalih bukanlah meminta kepada mereka, tetapi meminta kepada Allah semata melalui mereka. Tawassul, meminta syafaat dan beristighosah melalui mereka tidaklahmempunyai pengertian lain dalam hati kaum muslimin kecuali sebagaimana yang disebutkan di atas. Dan tak seorang pun di antara mereka yang
menghadapkan dirinya selain kepada Allah semata. Barangsiapa yang dadanya tidak dilapangkan untuk masalah ini, hendaklah ia menangisi dirinya sendiri. Kami meminta kepada Allah ampunan dan kesehatan.

Dalam hadis tentang syafaat akan diutarakan permintaan perlindungan manusia kepada
para Nabi pada hari kiamat. Dalam hadis tersebut terdapat dalil yang sangat jelas mengenai sikap bertawassul kepada mereka, bahwa setiap orang yang berbuat dosa dapat bertawassul kepada Allah melalui orang yang lebih dekat kepada Allah daripada dia. Ini tidak dipungkiri oleh siapapun.

Tidak ada bedanya antara hal tersebut disebut dengan meminta syafaat, tawassul ataupun istighosah. Hal ini bukanlah termasuk perbuatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembah selainNya, sebab hal ini memang kufur. Kaum muslimin, apabila bertawassul dengan Nabi SAW atau yang lainnya seperti para nabi, wali dan orang-orang shalih, tidaklah menyembah mereka, dan hal itu tidak membuat mereka keluar dari sikap tauhid mereka kepada Allah ta`ala. Hanya Dia sajalah yang memberikan kemanfaatan dan kemudaratan…. (petikan “an-Nurul Mubin” terjemahan Ustaz Khoiron Nahdliyyin dan Ustaz Ahmad Adib al-Arif).

Al Habib Umar Bin Hafidz

Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh. Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.sejuknya-pandanganmu1
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir.

Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.